Dalam kemajuan teknologi tercipta media sosial, sebuah tempat untuk peluang mempertontonkan konten, ide, karya, drama, narasi, kisah, kontroversi, teori, bahkan sensasi. Di balik itu, terdapat sebuah ruang candrawama yang dapat melukiskan senyuman atau sebuah tetesan air mata. Sebuah binar adiwarna yang terpancar dapat berubah menjadi ruang gelap. Kata-kata yang tercipta dari sebuah gerakan jari yang menyentuh bidang datar yang bercahaya yang tidak dapat menyentuh secara fisik namun dapat menggoreskan sebuah luka. Artikel ini menjelajahi kegelapan cyberbullying yang merayap dan mengancam generasi penerus.
Dalam perang digital tanpa senjata, generasi kita berhadapan dengan ancaman yang tak terlihat. “Cyberbullying”, sebuah tindakan perundungan yang dilakukan melalui sarana elektronik. Ini merupakan hal yang umum terjadi pada generasi Zoomer (Gen Z), generasi yang sangat terdampak dari kemajuan teknologi. Perilaku cyberbullying dapat mempengaruhi kesehatan mental generasi Z secara negatif. Akibat dari cyberbullying ini tidak boleh dianggap remeh, karena tidak sedikit remaja yang menjadi korban memilih untuk mengakhiri hidupnya akibat depresi. Fenomena ini sudah sering terjadi di berbagai tempat di belahan dunia dan erat kaitannya dengan aspek kesehatan mental. Di Indonesia sendiri, tidak sedikit kasus korban cyberbullying yang mengalami depresi memilih untuk bunuh diri. Sebagai contoh, kasus seorang influencer TikTok yang meninggal dunia pada sabtu (6/8/2022) silam. Influencer tersebut diduga bunuh diri setelah mengalami perundungan di media sosial karena hasil penyelidikan awal ditemukan bahwa korban mengalami stres emosional.
Hal tersebut juga dirasakan oleh public figure terkenal di Indonesia yaitu Youtuber Ria Ricis. Youtuber besar tersebut dikabarkan sempat berniat untuk mengakhiri hidupnya dikarenakan terkena imbas dari perbuatan keji cyberbullying berdasarkan dari unggahan Youtubenya yang berjudul “Saya Pamit”. Menurut studi, keinginan bunuh diri akibat dari perilaku cyberbullying tidak hanya disebabkan oleh depresi saja namun juga rasa putus asa yang dirasakan oleh korban. Oleh karena itu ketika ada seseorang yang berperilaku atau bersikap ambigu dan terlihat tanda-tanda keinginan untuk bunuh diri, sangat penting untuk orang terdekat memberikan perhatian dan dukungan positif kepada mereka.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sameer Hinduja dan Justin W. Patchin dari Florida Atlantic University dan University of Wisconsin, dibandingkan dengan korban bullying tradisional, korban cyberbullying memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk melakukan tindakan bunuh diri. Untuk pelaku cyberbullying, angka kemungkinan untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah satu setengah kali lebih besar dibandingkan dengan pelaku bullying tradisional.
Dalam memahami kompleksitas ancaman cyberbullying, kita tidak hanya berhadapan dengan kegelapan yang merayap, tetapi juga dengan tanggung jawab bersama. Membangun lingkungan digital yang aman dan mendukung menjadi sebuah peran penting dalam melindungi generasi penerus dari dampak negatif cyberbullying. Dengan meningkatkan kesadaran, edukasi, dan penerapan kebijakan yang efektif, kita dapat menjaga agar binar adiwarna media sosial tidak berubah menjadi ruang gelap bagi penggunanya, di mana setiap gerakan jari membentuk jejak positif dan mendukung pertumbuhan, bukan luka. Melalui kolaborasi dan kepedulian, mari bersama-sama membentuk dunia digital yang lebih baik bagi kita semua.
Penulis : Dania Rifqah Maharani Faisal
Mahasiswi Dept. PKIP FKM Universitas Hasanuddin