Makassar — Mahasiswi Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin melaksanakan kegiatan Evidence Based Learning Tahap 2 (EBL 2) di RW 5 Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar. Kegiatan ini berlangsung selama dua minggu sejak 14 Juli hingga 27 Juli 2025 sebagai bagian dari proses pembelajaran berbasis bukti langsung dari masyarakat.
Kegiatan ini merupakan tahap lanjutan dari EBL 1 dan bertujuan untuk menggali kondisi gizi masyarakat secara lebih mendalam. Mahasiswa tidak hanya melakukan observasi, tetapi juga mengumpulkan data melalui wawancara, pengukuran antropometri, dan analisis pola makan menggunakan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Kelompok sasaran dalam kegiatan ini meliputi ibu hamil, ibu menyusui, remaja putri, balita, dan baduta yang berada di wilayah RW 5 Kelurahan Bira.
Dalam proses pengumpulan data, mahasiswa menggunakan instrumen berbeda untuk tiap kelompok sasaran. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi seperti riwayat kesehatan, pola konsumsi pangan, praktik pemberian makan, serta pemanfaatan layanan kesehatan seperti ANC. Pengukuran antropometri digunakan untuk menilai status gizi secara objektif, meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, LiLA, panjang badan, dan lingkar kepala, tergantung pada usia dan kondisi responden. Sementara itu, instrumen FFQ dimanfaatkan untuk mencatat frekuensi konsumsi berbagai kelompok makanan, seperti karbohidrat, protein hewani, protein nabati, buah, sayur, susu, makanan manis, dan snack.
Dari ketiga pendekatan pengumpulan data yang dilakukan, salah satu temuan penting terdapat pada hasil FFQ, yaitu adanya ketidakseimbangan pola konsumsi harian. Data menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pola makan yang belum seimbang, dengan asupan karbohidrat yang dominan, sementara konsumsi protein, sayur, dan buah-buahan masih tergolong rendah. Beberapa keluarga menyebutkan bahwa keterbatasan waktu, selera makan anak, dan kebiasaan makan menjadi faktor yang memengaruhi pilihan makanan sehari-hari. Selain itu, konsumsi makanan manis dan minuman berpemanis juga masih cukup tinggi, terutama di kalangan anak-anak.
Pola konsumsi yang kurang ideal ini juga terlihat pada kelompok remaja putri, di mana ditemukan kebiasaan melewatkan sarapan. Salah satu remaja mengaku bahwa ia hampir tidak pernah sarapan sebelum berangkat sekolah. “Saya biasa tidak sempat sarapan karena kalau pagi buru-buru ke sekolah. Sudah terbiasa juga tidak makan pagi, jadi tidak terasa lapar,” ujarnya. Kebiasaan ini tentu berisiko menurunkan konsentrasi belajar dan asupan energi harian.
Selain itu, upaya pencegahan anemia melalui pemberian tablet tambah darah (TTD) juga belum sepenuhnya diterima. Remaja lain mengaku enggan mengonsumsinya. “Saya tidak suka rasanya, jadi saya simpan saja,” tuturnya. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan intervensi gizi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal penerimaan oleh remaja.
Situasi berbeda namun tetap memprihatinkan juga terjadi pada kelompok baduta. Salah satu pengasuh mengungkapkan bahwa anak yang diasuhnya tidak lagi mendapatkan ASI maupun susu formula. “Dia sudah bisa minum air, jadi saya kasih air saja kalau dia haus. Sudah tidak disusui lagi karena ibunya sibuk kerja,” ujarnya. Padahal, di usia baduta, susu dan ASI masih menjadi sumber penting energi dan zat gizi yang mendukung tumbuh kembang optimal.
Secara umum, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai pola konsumsi yang sesuai masih perlu ditingkatkan, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Tantangan yang dihadapi cukup kompleks dan tidak cukup diselesaikan hanya melalui penyampaian informasi secara umum. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan intervensi yang lebih kontekstual dan partisipatif, yang benar-benar menyesuaikan dengan realitas yang dihadapi warga di lapangan.
Masalah gizi yang ditemukan di RW 5 Bira berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan, terutama bagi kelompok rentan. Kondisi ini relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 2 (Tanpa Kelaparan) dan nomor 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera). SDGs 2 menekankan penghapusan segala bentuk malnutrisi, sementara SDGs 3 menekankan pentingnya menjaga kesehatan di setiap tahap kehidupan. Dengan memperkuat kesadaran dan edukasi gizi yang tepat sasaran, masyarakat RW 5 Bira dapat menjadi bagian dari upaya menuju masyarakat yang lebih sehat dan mandiri secara gizi.