Di tengah kehidupan Kota Makassar, masyarakat di pinggiran kota seringkali luput dari perhatian. Kelurahan Parangloe khususnya di RW 5, menjadi potret nyata dari tantangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, terutama pangan. Di wilayah ini, mayoritas warga menggantungkan hidup dari pekerjaan yang bersifat harian seperti buruh kasar dan pedagang kecil. Tanpa penghasilan tetap, mereka hidup dalam ketidakpastian, setiap hari adalah perjuangan agar bisa makan.
Kondisi ekonomi yang terbatas, justru membuat pola konsumsi warga menjadi sangat sederhana. Banyak keluarga hanya mampu memasok makanan murah seperti, mie instan dan jajanan ringan tanpa nilai gizi yang seimbang. Bukan karena tidak memahami pentingnya gizi, melainkan pilihan terdesak dalam mempertahankan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Basri, seorang warga yang seharinya bekerja sebagai tukang ojek, “Kalau tidak ada pemasukan hari ini kami makan apa adanya, yang penting anak-anak tetap bisa makan walau hanya seadanya.”
Sudut pandang itulah yang terus berlangsung dari hari ke hari, lambat laun menimbulkan konsekuensi serius bagi kesehatan warga. Dampaknya sangat jelas terlihat pada kondisi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak. Banyak dari mereka mengalami pertumbuhan yang tidak sesuai dengan usia. Kekurangan asupan protein, zat besi, dan vitamin menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi seperti, stunting dan wasting. Lebih mengkhawatirkannya, seorang ibu hamil dan menyusui juga terpaksa mengonsumsi makanan dengan kandungan gizi yang tidak tercukupi. Padahal kebutuhan nutrisi mereka sangat tinggi untuk mendukung kesehatan dan perkembangan anak dalam janinnya. Jika tidak ada perubahan, maka kekurangan gizi ini bisa berlanjut antar generasi, serta memperkuat siklus kemiskinan hingga ketimpangan sosial. Kondisi ini secara langsung berkaitan dengan SDG 2: Tanpa Kelaparan, karena menunjukkan adanya kelaparan tersembunyi (Zero Hunger) dan malnutrisi yang masih berlangsung.
Kondisi ini pun tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan yang jauh lebih dalam, yang bersifat sistemik. Faktanya, persoalan dari warga setempat RW 5 ini bukan semata karena kurangnya pengetahuan tentang gizi, melainkan akibat dari realitas sistemik yang berkaitan. Keterbatasan ekonomi, lonjakan harga bahan pangan, serta belum meratanya distribusi makanan bergizi menjadi faktor utama yang membentuk pola konsumsi masyarakat di sana. Dalam kondisi seperti ini, bertahan hidup lebih diutamakan dibandingkan kualitas makanan. Ironisnya, perlindungan sosial maupun kebijakan publik yang menjamin akses terhadap pangan bergizi bagi kelompok rentan masih belum tersedia secara meluas.
Melihat situasi tersebut, mahasiswa Gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas) melakukan pengumpulan data dalam kegiatan Evidence Based Learning (EBL) tahap kedua. Mahasiswa S1 Gizi FKM UNHAS mendatangi rumah warga, melakukan wawancara, serta mengukur status antropometri anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Dari hasil pengamatan yang sudah dilakukan, terdeskripsi jelas bahwa ketimpangan akses terhadap pangan bergizi masyarakat Parangloe RW 5 merupakan masalah serius yang membutuhkan solusi dan aksi nyata.
Oleh karena itu, upaya dalam meningkatkan status gizi masyarakat di sana diperlukan edukasi yang mendalam, pendekatan lintas sektor yang menyentuh akar persoalan, mulai dari ketersediaan, keterjangkauan, hingga keberlanjutan pangan sehat. Kemudian, program seperti subsidi bahan pokok bergizi, pengembangan kebun pangan keluarga, penyuluhan gizi yang praktis dan kontekstual, serta penguatan layanan kesehatan gizi di tingkat kelurahan menjadi sangat penting untuk segera dilakukan. Sehingga demi memastikan setiap anak tumbuh sehat bukan hanya tanggung jawab keluarga, melainkan tanggung jawab bersama. Masyarakat Parangloe RW 5 bukan tidak peduli terhadap gizi. Mereka justru memiliki semangat tinggi untuk belajar dan memperbaiki keadaan. Namun tanpa dukungan nyata, mereka hanya akan terus berjuang sendirian.